Produktif Maksimal: Pilih Multitasking atau Singletasking? Ini Jawabannya!

Setiap hari, kita sering melakukan banyak hal sekaligus: membalas email sambil mengikuti rapat online, membuka chat yang masuk, bahkan sambil mengecek media sosial. Semua ini terasa seperti tanda kita sangat sibuk dan produktif. Namun, mengapa sering kali hasil kerja terasa kurang maksimal? Ternyata, otak manusia memang bukan mesin yang bisa menangani banyak tugas berat sekaligus tanpa penurunan kualitas.

Saat kita mencoba membagi fokus, sebenarnya otak memaksakan diri untuk berpindah-pindah perhatian. Perpindahan ini memakan energi ekstra sehingga sebenarnya memboroskan waktu dan tenaga. Alih-alih efektif, kita menjadi seperti sedang ‘berlari di tempat’—terlihat sibuk tapi hasilnya minim. Banyak penelitian menunjukkan bahwa cara kerja otak ini membuat multitasking justru menurunkan efektivitas, meningkatkan risiko kesalahan, dan membuat proses kerja menjadi lebih lama.

Selain itu, rasa “sibuk” itu sering kali hanya ilusi. Kita merasa sudah menyelesaikan banyak hal dalam satu waktu, padahal sebenarnya tidak ada yang mendapat perhatian penuh dan hasilnya pun kurang optimal. Kondisi ini bisa menimbulkan frustasi karena meskipun sudah berusaha keras, target dan kualitas kerja tetap sulit tercapai. Maka, penting bagi kita untuk mengenali kapan kita benar-benar produktif dan kapan hanya terlihat sibuk.

Ilmu di Balik ‘Task Switching’

Multitasking sejatinya bukan mengerjakan dua hal sekaligus, tapi perpindahan fokus otak secara cepat dari satu tugas ke tugas lain, yang disebut ‘task switching’. Bayangkan Anda sedang mengetik dokumen penting sambil menyimak telepon masuk. Otak Anda sebenarnya berganti-ganti tugas dalam hitungan detik dengan berusaha menyesuaikan diri. Pergantian ini memakan waktu dan menurunkan konsentrasi.

Studi neuroscience menunjukkan bahwa setiap kali kita berpindah fokus, otak butuh sekitar 20 detik untuk “menyetel ulang” agar bisa efektif kembali melakukan tugas tersebut. Jika terjadi secara berulang, waktu yang hilang terakumulasi dan membuat kita kurang produktif. Dampak lain dari task switching adalah peningkatan kelelahan mental karena otak terus-menerus harus melakukan penyesuaian cepat ini, sehingga menyebabkan stres dan kelelahan yang tak terlihat.

Analogi lain, bayangkan multitasking seperti mengendarai beberapa mobil sekaligus di jalan yang sama. Meskipun Anda bisa berpindah dari satu setir ke setir lain, risiko kecelakaan dan kelelahan sangat tinggi. Sama halnya dengan otak kita yang dipaksa terus berganti fokus tanpa jeda cukup, membuat kualitas pekerjaan menurun drastis.

Kerugian Tersembunyi Multitasking

Kerugian multitasking tidak hanya soal efisiensi waktu, tapi juga berdampak pada kesehatan mental dan fisik. Saat dipaksa multitasking terus-menerus, tubuh melepaskan hormon kortisol yang dikenal sebagai hormon stres. Ini membuat kita merasa tegang dan cemas tanpa sadar. Jika berlangsung lama, kondisi ini bisa menyebabkan burnout—keadaan kelelahan parah yang membuat kita kehilangan motivasi dan semangat bekerja.

Selain itu, multitasking yang berlebihan bisa memengaruhi kualitas tidur. Pikiran yang dipaksa terus berpindah-pindah tugas sulit untuk tenang saat malam hari. Akibatnya, kita sulit mendapatkan tidur nyenyak yang penting untuk pemulihan energi dan fungsi otak. Kualitas tidur yang buruk kemudian berpengaruh pada mood, daya ingat, dan kemampuan berkonsentrasi keesokan harinya.

Studi juga menunjukkan bahwa multitasking mengurangi kemampuan kita untuk mengingat informasi karena otak tidak fokus menyerap setiap detail. Ini berarti belajar atau bekerja sambil multitasking bisa membuat kita mudah lupa dan kurang paham materi yang sedang dipelajari.

Membangun ‘Flow State’ untuk Produktivitas Maksimal

Sebaliknya, single-tasking memungkinkan kita memasuki ‘flow state’—suatu kondisi mental sangat fokus dan terlibat penuh dalam satu aktivitas. Dalam flow state, kita mengalami perasaan tenggelam dalam pekerjaan, di mana waktu terasa berjalan cepat dan hasil yang dicapai jauh lebih optimal. Istilah flow ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Mihaly Csikszentmihalyi yang menunjukkan bahwa flow meningkatkan kepuasan dan produktivitas secara signifikan.

Untuk mencapai flow state, kita perlu lingkungan yang minim gangguan, jadwal kerja yang teratur, dan penetapan tujuan kerja yang jelas. Misalnya, menetapkan blok waktu kerja 90 menit tanpa gangguan telepon atau email bisa sangat membantu agar otak fokus penuh pada satu tugas. Menghilangkan notifikasi dan menetapkan jeda istirahat teratur juga kunci agar fokus tetap terjaga tanpa kelelahan.

Flow state tidak hanya meningkatkan produktivitas tapi juga memberikan dampak positif bagi kesehatan mental. Saat masuk flow, stres berkurang dan rasa puas terhadap hasil kerja meningkat, yang membuat kita merasa lebih bahagia dan termotivasi menjalani hari.

Kapan Multitasking Boleh Dilakukan

Meskipun single-tasking lebih ideal, multitasking bukanlah hal yang sepenuhnya buruk dan bisa digunakan dengan bijak. Ada tugas-tugas ringan yang sifatnya otomatis dan tidak memerlukan banyak konsentrasi, seperti mendengarkan musik sambil menyapu rumah atau memilah email saat menunggu pertemuan dimulai.

Kuncinya adalah mengenali jenis tugas dan konteksnya. Jika dua aktivitas bisa dilakukan bersamaan tanpa saling mengganggu fokus, multitasking bisa mempercepat penyelesaian pekerjaan. Namun, untuk tugas yang membutuhkan pemikiran mendalam, analisa, dan ketelitian, lebih baik dilakukan satu per satu agar kualitasnya terjaga.

Misalnya, menggunakan multitasking saat sesi santai atau aktivitas fisik sederhana bisa membantu mengisi waktu tanpa menurunkan kualitas kerja utama. Dengan cara ini, kita bisa mendapatkan keseimbangan antara efisiensi waktu dan menjaga ketajaman mental. junedoughty.com

About The Author

Nama saya Juna, tapi teman-teman manggil sayaJunebug. Sayamenulis tentang hidup sehari-hari dengan sentuhan kreativitas, produktivitas ringan, dan kebiasaan kecil yang bisa bikin hari kita lebih hidup.

More From Author

You May Also Like